Selamat Olahraga kawan-kawan..
Sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keolahrgaan (PRODI IKOR) Fakultas Ilmu Keolahrgaan Universitas Negeri Makassar (FIK UNM). Ingin Mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keolahragaan baik itu sejarah, filsafat, teori dll. Kali ini saya akan berbagi tentang Ilmu Keolahragaan dalam Persfektif Filsafat.Semoga ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita bersama dan tentunya di peruntukkan bagi siaapa saja yang ingin mengetahui tentang keolahragaan
A. Secuil Tentang FILSAFAT
Sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keolahrgaan (PRODI IKOR) Fakultas Ilmu Keolahrgaan Universitas Negeri Makassar (FIK UNM). Ingin Mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keolahragaan baik itu sejarah, filsafat, teori dll. Kali ini saya akan berbagi tentang Ilmu Keolahragaan dalam Persfektif Filsafat.Semoga ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita bersama dan tentunya di peruntukkan bagi siaapa saja yang ingin mengetahui tentang keolahragaan
A. Secuil Tentang FILSAFAT
Kita sering mendengar kata filsafat bahkan di jadikan bahan diskusi. baik membahas tentang politik,pendidikan,agama,ekonomi,olahraga atau yang ainnnya. Namun tidak sedikit orang yang menganggap membahas filsafat adalah suatu pembodoahn atau cerita kosong yang tidak memiliki tujuan dan hanya menghabiskan waktu. di sisi lain, ada pula yang konsisten dengan paradigma hidupnya tentang filsafat dan mengatakan bahwa filsafat adalah dasar dari semua pengethuan itulah sebabnya semua aspek kehidupan tidak lepas daripada filsafat. dengan begitu mereka beranggapan bahwa yang mampu memahami filsafat adalah mereka yang memiliki kejeniusan alias pengetahuan yang extra ordinery.
Itullah filsafat, mengundang kekeliruian dan kesalapahaman jika kita tidak mengkajinya secara mendalam dan terus menerus. karena jika kita mendalaminy maka kita akan semakin mnekuni dan percaya bahwa itulah kebenaran. dengan kata lain semakin banyak kita bertanya maka kebenaran suatu ilmu akan kita ketahui dan itulah filsafat. Tentu proses mengetahui dan memahami hakikat filsafat kita harus menelaah dari pelbagai aspek dan dimensi,
yakni: tinjauan etimologis yang menelaah filsafat dari asal usul katanya dan
tinjauan terminologis yang mengkaji filsafat dari sudut pemakaian istilahnya,
serta definisi yang diajukan oleh para filsuf itu sendiri.
Secara
etimologis kata “filsafat” merupakan kata turunan dari “philosophia” dalam
bahasa Yunani. Ia merupakan kata majemuk dari “philos” yang berarti cinta atau
“philia” yang memiliki arti “persahabatan” atau “tertarik kepada” dan “sophos”
yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan
intelegensi. Singkatnya, “philosophia” ialah cinta kebijaksanaan atau sahabat
pengetahuan. Istilah “philosophia” telah di-indonesiakan menjadi “filsafat”,
yang mempunyai ajektiva atau kata sifat “filsafati”, dan “filsuf” yang
merupakan kata untuk menunjuk pada orangnya. Ada juga orang yang lebih menyukai
sebutan “filosofi”, yang memiliki kata sifat “filosofis”, dan “filosof” untuk
mengacu kepada orangnya. Dari sejarah filsafat itu sendiri banyak referensi yang mengatakan polularitas kata filsafat berkembang pada masa socrates dan plato.
Dari pengantr tadi saya mengatakan bahwa ilmu apapun itu ketika kita ingin mendalaminya maka kita harus meninjauanya dari tinjsuan filsafat tak terkecuali tentang olahraga.
Kesadaran bahwa olahraga merupakan
ilmu secara internasional mulai muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia
secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa
akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu
olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana
akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu
ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring
kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang
mulai bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.
Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki
tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk
dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi
ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan
ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata
lain merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri
esensial obyek itu yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan
mengenai pengembangan ilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan
ilmu.
Epistemologi membahas secara
mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan.
Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode
keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan
yang telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan
batang tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu
cabang dibahas di sini.
Aksiologi ilmu membahas tentang
manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan
value free dan value bound ilmu mendominasi fokus perhatian aksiologi pada
umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi
aksiologi diperluas lagi sehingga secara inheren mencakup dimensi nilai
kehidupan manusia seperti etika, estetika, religius (sisi dalam) dan juga
interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi
luar aksiologi).
B. Hubungan Filsafat dan Ilmu Keolahragaan
Filsafat ilmu olahraga, dengan titik
tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi
– mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi dan
intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan
perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.
Sampai disini kita telah memiliki dasar untuk melanjutkan pembahasan tentang filsafat ilmu keolaharagaan. agar kita tidak keliru dan mengambang dalam pembahasan maka kita harus mensistematiskan permasalahan di mulai dari histrory atau sejarah, kemudian tinjauan ontologi,epistimologi dan aksiologi.
Menurut sejarahnya, olahraga di mulai dari berbagai negara seperti Cina Kuno,Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Sedikit penejalsan dari bebrapa zaman tersebut anatara lain :
1. Cina Kuno
Terdapat
artefak dan bangunan-bangunan yang menunjukkan bahwa orang Cina
berhubungan dengan kegiatan yangkita definisikan sebagai olahraga di
awal tahun 4000 SM. Awal dan perkembangan dari kegiatan olahraga di
Cinasepertinya berhubungan dekat dengan produksi, kerja, perang, dan
hiburan pada waktu itu.Senam sepertinya merupakan olahraga yang populer
di Cina zaman dulu. Tentunya sekarang juga, seperti keahlianorang Cina
dalam akrobat yang terkenal secara internasional.Cina memiliki Museum
Beijing yang didedikasikan untuk subjek-subjek tentang olahraga di
Cina dan sejarahnya.
2. Mesir Kuno
Monumen
untuk Faraoh menunjukkan bahwa beberapa cabang olahraga diperhatikan
perkembangannya dandipertandingkan secara berkala beberapa ribu tahun
yang lampau, termasuk renang dan memancing. Ini tidaklahmengejutkan
mengingat pentingnya Sungai Nil bagi kehidupan orang Mesir. Olahraga
yang lain termasuk lempar lembing, loncat tinggi, dan gulat.
Lagi, keberadaan olahraga yang populer menunjukkankedekatan dengan
kegiatan non-olahraga sehari-hari.
3. Yunani Kuno
Banyaknya
cabang olahraga sudah ada sejak jaman Kerajaan Yunani Kuno. Gulat,
Lari, Tinju, lempar lembing danlempar cakram, dan balap kereta kuda
adalah olahraga yang umum. Ini menunjukkan bahwa Kebudayaan
militer Yunani berpengaruh pada perkembangan
olahraga mereka.Pertandingan Olimpiade diadakan setiap empat tahun
sekali di Yunani. Pertandingan tidaklah diadakan hanyasebagai even
olahraga saja, tetapi juga sebagai perayaan untuk kemegahan individu,
kebudayaan, dan macam-macam kesenian dan juga tempat untuk menunjukkan
inovasi di bidang arsitektur dan patung. Pada dasarnya, evenini adalah
waktu untuk bersyukur dan menyembah para Dewa-Dewa kepercayaan Yunani.
Nama even ini diambildari Gunung Olympus, tempat suci yang dianggap
tempat hidupnya para dewa. Gencatan senjata dinyatakan
selamaPertandingan Olimpiade, seperti aksi militer dan eksekusi
untuk publik ditangguhkan. Ini dilakukan agar orang-orang dapat
merayakan dengan damai dan berkompetisi dalam suasana yang berbudaya
dan saling menghargai.
Mitos
dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu
perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar.
Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan
bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak
pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman
manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud
dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya
persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan.
Atletik
(olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk
kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata
atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan
dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan
mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari
hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan
mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian,
keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis.
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang
tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai
semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik
ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama –
baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi
kultural agon.
Sementara di indonesia sendiri, Ilmu Keolahragaan di deklarasikan pada tahun 1998 di Surabaya pada Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolaragaan atay di sebut Deklarasi Surabaya 1998. Deklarasi tersebut di dasari untuk menjawab pertanyaan bahwa ilmu keolahragaan sebagai ilmu mandiri atau berdiri sendiri dengan memenuhi 3 syarat yakni objek, metode dan pengorganisasian yang berbeda serta di cakup dalam ontologi, epistimologi dan aksiologi yang sepenuhnya dikasi secara mengakar dan mendalam.
1.
Ontologi
Obyek studi ilmu keolahragaan yang unik dan tidak dikaji
ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap
aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur
alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan
olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”.
Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for
All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat” Kata Soekarno. “Aktivitas”, sebagai kata yang
mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak
manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh
karena itu, menurut KDI keolahragaan, obyek material ilmu keolahragaan adalah
gerak insani dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan
dan pendidikan. Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan
paling mendasar.
Penelitian
filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai
kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah
mode atau tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal.
Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: “oran dum es ut sit
‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa
menyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk
mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang kepada
perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Ilmu
keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti
pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang
dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan
penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
2.
Epistemologi
yang
mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu.
Ilmu keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan
multidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan
multidisipliner ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan
beberapa disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih
disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkan
pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena melumatnya
batas-batas ilmu yang sudah mapan.
Ketiga
pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan mebentuik batang tubuh ilmu
sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu. Inti kajian ilmu
keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain dan
Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga,
Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi
Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu
keolahragaan terdiri dari Humaniora – terwujud dalam antropokinetika; Ilmu
Pengetahuan Alam – terwujud dalam Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial –
terwujud dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan, 2000: 33-34).
3. Aksiologi
aksiologi
berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu kajian. Secara aksiologi
olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan
strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan, 2000: 36). Sisi
luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi
dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya. Kecenderungan-kecenderungan sisi
aksiologi keolahragaan ini secara akademis menempati sisi yang tak bisa
diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk dieksplorasi. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh
cakupan dimensi ilmu keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi
dan intensifikasi masih luas.
Bertaburan
dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi ontologi,
epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa bahwa semakin banyak renungan
filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap
olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu
dimaknai secara operasional-ilmiah.
Demikian ARTIKEL tentang Filsafat Ilmu Keolahragaan yang di ambil dari beberapa sumber antara lain :
1. Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan , Tahun 2000
2. Paul
Weiss Sport: A Philosophy Inquiry,Tahun 1969
3. Lawrence J Hatab Myth And Philosophy Tahun 1990
4. http://www.academia.edu/23448803/sejarah_olahraga
5. Buku Filsafat Ilmu JUJUN S SURIASUMANTRI Tahun 2001
Terima Kasih
SALAM OLAHRAGA
No comments:
Post a Comment