GOOGLE

Search results

Saturday, January 14, 2017

FILSAFAT DAN ILMU KEOLAHRAGAAN

Selamat Olahraga kawan-kawan..

Sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keolahrgaan (PRODI IKOR) Fakultas Ilmu Keolahrgaan Universitas Negeri Makassar (FIK UNM). Ingin Mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keolahragaan baik itu sejarah, filsafat, teori dll. Kali ini saya akan berbagi tentang Ilmu Keolahragaan dalam Persfektif Filsafat.Semoga ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita bersama dan tentunya di peruntukkan bagi siaapa saja yang ingin mengetahui tentang keolahragaan
A. Secuil Tentang FILSAFAT
Kita sering mendengar kata filsafat bahkan di jadikan bahan diskusi. baik membahas tentang politik,pendidikan,agama,ekonomi,olahraga atau yang ainnnya. Namun tidak sedikit orang yang menganggap membahas filsafat adalah suatu pembodoahn atau cerita kosong yang tidak memiliki tujuan dan hanya menghabiskan waktu. di sisi lain, ada pula yang konsisten dengan paradigma hidupnya tentang filsafat dan mengatakan bahwa filsafat adalah dasar dari semua pengethuan itulah sebabnya semua aspek kehidupan tidak lepas daripada filsafat. dengan begitu mereka beranggapan bahwa yang mampu memahami filsafat adalah mereka yang memiliki kejeniusan alias pengetahuan yang extra ordinery. 

Itullah filsafat, mengundang kekeliruian dan kesalapahaman jika kita tidak mengkajinya secara mendalam dan terus menerus. karena jika kita mendalaminy maka kita akan semakin mnekuni dan percaya bahwa itulah kebenaran. dengan kata lain semakin banyak kita bertanya maka kebenaran suatu ilmu akan kita ketahui dan itulah filsafat. Tentu proses mengetahui dan memahami hakikat filsafat kita harus menelaah dari pelbagai aspek dan dimensi, yakni: tinjauan etimologis yang menelaah filsafat dari asal usul katanya dan tinjauan terminologis yang mengkaji filsafat dari sudut pemakaian istilahnya, serta definisi yang diajukan oleh para filsuf itu sendiri. 

Secara etimologis kata “filsafat” merupakan kata turunan dari “philosophia” dalam bahasa Yunani. Ia merupakan kata majemuk dari “philos” yang berarti cinta atau “philia” yang memiliki arti “persahabatan” atau “tertarik kepada” dan “sophos” yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi. Singkatnya, “philosophia” ialah cinta kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Istilah “philosophia” telah di-indonesiakan menjadi “filsafat”, yang mempunyai ajektiva atau kata sifat “filsafati”, dan “filsuf” yang merupakan kata untuk menunjuk pada orangnya. Ada juga orang yang lebih menyukai sebutan “filosofi”, yang memiliki kata sifat “filosofis”, dan “filosof” untuk mengacu kepada orangnya. Dari sejarah filsafat itu sendiri banyak referensi yang mengatakan polularitas kata filsafat berkembang pada masa socrates dan plato. 

Dari pengantr tadi saya mengatakan bahwa ilmu apapun itu ketika kita ingin mendalaminya maka kita harus meninjauanya dari tinjsuan filsafat tak terkecuali tentang olahraga. 

Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.

Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan ilmu.
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yang telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabang dibahas di sini.


Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi sehingga secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika, estetika, religius (sisi dalam) dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar aksiologi).


B. Hubungan Filsafat dan Ilmu Keolahragaan
Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.

 Sampai disini kita telah memiliki dasar untuk melanjutkan pembahasan tentang filsafat ilmu keolaharagaan. agar kita tidak keliru dan mengambang dalam pembahasan maka kita harus mensistematiskan permasalahan di mulai dari histrory atau sejarah, kemudian tinjauan ontologi,epistimologi dan aksiologi. 

Menurut sejarahnya, olahraga di mulai dari berbagai negara seperti Cina Kuno,Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Sedikit penejalsan dari bebrapa zaman tersebut anatara lain :
1. Cina Kuno
Terdapat artefak dan bangunan-bangunan yang menunjukkan bahwa orang Cina berhubungan dengan kegiatan yangkita definisikan sebagai olahraga di awal tahun 4000 SM. Awal dan perkembangan dari kegiatan olahraga di Cinasepertinya berhubungan dekat dengan produksi, kerja, perang, dan hiburan pada waktu itu.Senam sepertinya merupakan olahraga yang populer di Cina zaman dulu. Tentunya sekarang juga, seperti keahlianorang Cina dalam akrobat yang terkenal secara internasional.Cina memiliki Museum Beijing yang didedikasikan untuk subjek-subjek tentang olahraga di Cina dan sejarahnya.
2. Mesir Kuno
Monumen untuk Faraoh menunjukkan bahwa beberapa cabang olahraga diperhatikan perkembangannya dandipertandingkan secara berkala beberapa ribu tahun yang lampau, termasuk renang dan memancing. Ini tidaklahmengejutkan mengingat pentingnya Sungai Nil bagi kehidupan orang Mesir. Olahraga yang lain termasuk lempar lembing, loncat tinggi, dan gulat.  Lagi, keberadaan olahraga yang populer menunjukkankedekatan dengan kegiatan non-olahraga sehari-hari.
3. Yunani Kuno
Banyaknya cabang olahraga sudah ada sejak jaman Kerajaan Yunani Kuno. Gulat, Lari, Tinju, lempar lembing danlempar cakram, dan balap kereta kuda adalah olahraga yang umum. Ini menunjukkan bahwa Kebudayaan militer Yunani berpengaruh pada perkembangan olahraga mereka.Pertandingan Olimpiade diadakan setiap empat tahun sekali di Yunani. Pertandingan tidaklah diadakan hanyasebagai even olahraga saja, tetapi juga sebagai perayaan untuk kemegahan individu, kebudayaan, dan macam-macam kesenian dan juga tempat untuk menunjukkan inovasi di bidang arsitektur dan patung. Pada dasarnya, evenini adalah waktu untuk bersyukur dan menyembah para Dewa-Dewa kepercayaan Yunani. Nama even ini diambildari Gunung Olympus, tempat suci yang dianggap tempat hidupnya para dewa. Gencatan senjata dinyatakan selamaPertandingan Olimpiade, seperti aksi militer dan eksekusi untuk publik ditangguhkan. Ini dilakukan agar orang-orang dapat merayakan dengan damai dan berkompetisi dalam suasana yang berbudaya dan saling menghargai.

Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan.

Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis. Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon.

Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab L, 1998) Nietzsche adalah seorang filsuf kontroversial yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang tak langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat dan ilmu keolahragaan.pemikiran Nietzsche seperti will to power, sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik dan event-event olahraga. 

Sementara di indonesia sendiri, Ilmu Keolahragaan di deklarasikan pada tahun 1998 di Surabaya pada Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolaragaan atay di sebut Deklarasi Surabaya 1998. Deklarasi tersebut di dasari untuk menjawab pertanyaan bahwa ilmu keolahragaan sebagai ilmu mandiri atau berdiri sendiri dengan memenuhi 3 syarat yakni objek, metode dan pengorganisasian yang berbeda serta di cakup dalam ontologi, epistimologi dan aksiologi yang sepenuhnya dikasi secara mengakar dan mendalam. 

1. Ontologi

Obyek studi ilmu keolahragaan yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” Kata Soekarno. “Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh karena itu, menurut KDI keolahragaan, obyek material ilmu keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan paling mendasar.


Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal. Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: “oran dum es ut sit ‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa menyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik.

Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).

2. Epistemologi

yang mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu. Ilmu keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan multidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan beberapa disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkan pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan.

Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan mebentuik batang tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu. Inti kajian ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari Humaniora – terwujud dalam antropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan, 2000: 33-34).

3. Aksiologi

aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan, 2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya. Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk dieksplorasi. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi ilmu keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas.


Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa  bahwa semakin banyak renungan filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu dimaknai secara operasional-ilmiah.
 
Demikian ARTIKEL tentang Filsafat Ilmu Keolahragaan yang di ambil dari beberapa sumber antara lain :

1. Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan , Tahun 2000
2. Paul Weiss Sport: A Philosophy Inquiry,Tahun 1969
3. Lawrence J Hatab Myth And Philosophy Tahun 1990
4. http://www.academia.edu/23448803/sejarah_olahraga
5. Buku Filsafat Ilmu JUJUN S SURIASUMANTRI Tahun 2001

Terima Kasih
SALAM OLAHRAGA

No comments:

Post a Comment