Kerangka Berfikir Ilmiah.
a.
Defenisi
Pertama yang herus didefiniskan adalah
kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian?. Sebab dengan adanya perbedaan
deiantara kita dalam mendefinisikan suatu dapat menjadi diskusi/kesepahaman
kita bisa, meskipun kita merujuk satu kata yang sama. Artinya kita harus
mengacu pada makna yang sama.
Lalu Apa defenisi dari defenisi?. Definisi
pertama dari kat definisi adalah membatasi sesuatu, sehingga kita dapat
memiliki pengertian terhadap sesuatu. Misalnya sawa kita berbatasan dengan
sungai, jalan raya, dan kebun. Maka defenisi sawa kita adalah sebidang sawa
yang letaknya disini…dan berbatasan dengan
ini..ini..dan seterusnya, senghingga menjadi jelas. Jadi defenisi dari defenisi
adalah memberikan pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan
batasan-batasan, sehingga hal tersebut menjadi jelas. Dapat disimpulkan bahwa inti
defenisi yang pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas.
Konsekwensinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan.
Definisi yang kedua dari kata definisi adalah menjelaskan sesuatu denga
beberapa pendekatan, sehingga sesatu itu jelas. Misalnya, jika kita ingin
mendefinisikan kertas, maka kita gunakan bentuk, warna, tekstur, kegunaan,
sumber dan seterusnya, sebagai pendekatan untuk memberikan kita pemahaman
tentang kertas, sehingga gambaran tentang kertas bagi kita menjadi jelas
adanya.
Jika kita mencoba mendefinisikan judul
diatas (kerangka Berfikir Ilmiah), maka kurang lebih seperti berikut:
Kerangka adalah suatu yang menyusun
atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain dapat berdiri dan Berfikir
merupakan gerak akal dari satu titik ketitik yang lain atau bisa juga gerak
akal dari pengetahuan yang satu kepengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama
kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa diri kita sekarang tidak mengetahui
sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang
sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang mendefinisikan
berfikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Jadi inti dari ini
adalah gerak akal.
Terserah kemudian kita pehami bahwa
titik pertama adalah tidak tahu atau tahu dan titik kedua adalah tahu, lebih
tahu atau malah ketidak tahuan yang baru. Ilmiah adalah sesuatu hal/pernyataan
yang bersifat keilmuan. Cuma disini kita perlu bedakan ilmiah dalam perspektif
kita dan sains barat. Ilmiah dalam sains barat itu harus melewati pengujian
secara empiris, artinya Ilmiah adalah empiris dalam sains barat. Namun, Ilmiah
yang dimaksudkan dalam pembahasan kita adalah yang sesuai dengan dengan
hukum-hukum pengetahuan, sedangkan tentang sains akan dibahas dalam materi yang
lain, yakni Islam Iptek.
b.
Kemutlakan dan Relativitas.
Suatu hal yang penting sebelum
menjalajahi dunia pemikiran perlu kiranya kita memahami jawban dari beberapa
pertanyaan berikut: apakah dari semua yang ada? Apakah ide atau realitas diluar
kita ini bersifat mutlak atau relative? Dalam artian, tidak hal yang pasti
seperti dalam kacamata kaum sofis (Filosphis).
Membahas sofisme, di Yunani muncul
sekelompok orang yang berfikir bahwa apapun yang ada dalam gagasan kita
bersifat relative, semuanya selalu dihadapkan pada pilihan apakah semuanya
mungkin benar atau semua mungkin salah. Ciri khas kaum sophis adalah berdebat
kusir yang kemudian kembali pada relativitas. Artinya lebih menekankan kekuatan
retorika disbanding argumentasi.
Secara social, kaum sophis ini (Sphis =
arif, pandai) menimbulkan gejolak negative dimasyarakat pada zamanny karena
tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Memang konsekwensi dari relativitas adalah
hilangnya kepercayaan. Disaat seperti inilah muncul tokoh Socrates (± 470-399
SM) yang menggugurkan asumsi-asumsi yang dibangun oleh kaum sophis.
Socrates yang dikenal sebagai seorang
guru Filsafat Yunai kuno yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode dialektika
untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak demi sempai hal-hal yang meragukan
terjawab atau menjadi jelas, mengatakan bahwa Filsafat berasal dari bahasa
Yunani yang berasl dari kata philo = cinta dan Sophia = arif. Mungkin disinilah
kerendahatian Socrates tidak mengangap dirinya sebagai orang pintar, tapi
sebagai pecinta kearifan. Disini perlu ditegaskan bahwa puncak ilmu adalah
kearifan.
Ada beberapa kelemahan sofisme.
Pertama, kontradiksi dengan dirinya, misalnya pernyataan bahwa “semua
relative”. Jika dikembalikan, apakah pernyataan bahwa “semua relative” itu
relative atau mutlak. Kemungkinan jawabannya adalah jika dikatakan “pernyataan
tersebut termasuk relative”, maka pernyataan ini munggugurkan dirinya. Artinya
pernyataan ini juga relative. Kalua relative artinya belub dapat dijadikan
sandaran kemutlakan. Sebagai contoh, pernyataan “dilarang berbahasa Indonesia”
adalah pernyataan yang menggurkan dirinya karena pernyataan ini sendiri berbasa
Indonesia. Jika kemudian jawabanya adalah semua relative kecuali relative itu,
maka mau tidak mua mengakui adanya kemutlakan. Seperti kebingungan Al-Ghazali
dalam pencarianya, hanya satu hal yang tidak diragukan yaitu keraguan itu
sendri.
Kelemahan kedua adalah sofisme tidak
memiliki pijakan teori yang jelas, sehingga turunan dari prinsip berpikirnya
juga menjadi tidak jelas. Setahu penulis, sofisme tidak lain dari kebingungan,
kegundaan karena tidak memiliki system berpikir yang komprehensif. Cara kerja
sofisme sagat sederhana, menciptakan antitesa dari sebuah pernyataan dalam
bahasa keraguan. Akibatnya adalah munculnya keraguan baru dan tak mampu
menjawab masalah.
BERSAMBUNG.........
No comments:
Post a Comment